Jumat, 15 Februari 2013

Posted by Unknown |

Beriman kepada Para Nabi dan Rasul

Beriman kepada para nabi dan rasul ‘alaihimus salaam adalah salah satu rukun iman. Mereka adalah penghubung antara Allah subhanahu wa ta’ala dan hamba-Nya dalam kehidupan beragama. Melalui merekalah kebenaran, petunjuk, dan agama yang benar sampai kepada seluruh hamba.
Makna beriman kepada para nabi dan rasul ‘alaihimus salaam adalah:
1. Mengimani dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang bertugas mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kaumnya untuk mengingkari segala sesuatu yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Meyakini bahwa para rasul semuanya adalah jujur, mulia, dan terbimbing dengan hidayah dari-Nya.
3. Meyakini bahwa para rasul telah menyampaikan semua wahyu yang mereka terima dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menyembunyikannya sedikitpun, dan tidak pula berdusta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 35-36).

Diutusnya Nabi dan Rasul adalah Nikmat bagi Umat Manusia
Manusia sangat butuh terhadap para rasul, keberadaan mereka adalah nikmat bagi umat manusia. Urusan mereka tidak akan teratur tanpa bimbingan dari para rasul. Demikian pula agama mereka, tidak akan benar tanpa bimbingan para rasul. Kebutuhan manusia terhadap para rasul lebih besar daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan para rasul itu sebagai penghubung antara Dia dengan hamba-Nya. Merekalah yang mengenalkan umat manusia tentang Allah subhanahu wa ta’ala, menunjukkan hal-hal yang bermanfaat dan yang merugikan bagi mereka, menerangkan rincian syari’at, halal-haram, perbuatan-perbuatan yang dicintai dan dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada jalan untuk mengetahui hal itu kecuali melalui para nabi dan rasul. Akal manusia tidak bisa mengetahui rincian hal-hal tersebut, walaupun mungkin bisa mengetahui sebagian kecilnya, itu pun secara global.
Maka dari itu, kebutuhan umat manusia terhadap risalah jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan orang sakit terhadap kehadiran dokter. Apabila dokter tidak ada, maksimal si sakit akan tertimpa mudarat pada badannya. Namun apabila risalah tidak ada maka manusia akan tertimpa mudarat pada hatinya, demikian pula penduduk bumi tidak akan bisa eksis keberadaannya kecuali apabila risalah yang dibawa oleh para rasul masih diterapkan. Apabila risalah rasul sudah tidak ada sama sekali di muka bumi, maka akan Allah subhanahu wa ta’ala timpakan kiamat terhadap alam semesta.
Perbedaan Nabi dan Rasul
Para ulama berbeda-beda dalam menyimpulkan perbedaan antara nabi dan rasul, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Nabi adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala akan tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya kepada yang lain. Adapun rasul adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya.
2. Nabi adalah seorang pria merdeka yang diperintahkan oleh Allah untuk menyeru (berdakwah) kepada syari’at rasul sebelumnya, dia tidak menerima wahyu baru. Adapun rasul adalah seorang pria  merdeka yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan syari’at yang baru.
3. Nabi adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa syari’at dan berkewajiban menyampaikannya kepada umat yang beriman. Sedangkan rasul adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa syari’at dan berkewajiban menyampaikannya kepada umat, dan diutus kepada umat yang menentang.
Setiap rasul pasti nabi, namun nabi belum tentu rasul. Sebagaimana definisi di atas, nabi adalah dari kalangan pria, tidak ada yang berasal dari kalangan wanita yang menjadi nabi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para rasul-Nya dari kalangan pria, tidak dari kalangan wanita. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. … sebagian kalangan beranggapan bahwa Sarah (istri Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam), ibunda Nabi Musa, Maryam Ibunda Nabi ‘Isa adalah para nabi dari kalangan wanita, dengan dalil bahwa malaikat memberikan berita gembira kepada Sarah dengan kelahiran Ishaq, dan malaikat datang kepada Maryam memberikan berita gembira dengan kelahiran ‘Isa. Memang hal itu terjadi pada mereka, namun hal itu tidak berarti mereka menjadi nabi dengan itu. … maka pendapat yang diyakini oleh para imam dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan itu pendapat yang dinukil oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dari para imam tersebut, bahwa tidak ada nabi dari kalangan wanita. Yang ada dari kaum wanita hanyalah shiddiqah…” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Yusuf ayat 109).
Predikat sebagai nabi atau rasul merupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada orang-orang yang dipilih oleh-Nya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah memilih rasul-rasul-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Hajj: 75)
Kenabian bukanlah kedudukan yang bisa diraih dengan keseriusan amal, kesungguhan ibadah, ataupun pelatihan jiwa, sebagaimana diyakini oleh sebagian orang. Menurut mereka, seseorang bisa meraih predikat kenabian karena memiliki kekuatan olah pikir, kemampuan mengkhayal, dan memiliki retorika yang jitu untuk mempengaruhi orang lain. Maka jangan heran bila sebagian orang mengklaim dirinya telah mencapai martabat nabi. Subhanallah! Tentu saja anggapan tersebut merupakan aqidah yang batil, terbantah dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, terbantah pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)
Jumlah Para Nabi dan Rasul
Jumlah para nabi dan rasul sangat banyak. Di antara mereka ada yang disebutkan nama-namanya dalam Al-Qur`an atau dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (Ghafir: 78) ayat semakna juga di surah An-Nisa`: 164.
Maka kita wajib mengimani mereka secara global, yakni kita mengimani bahwa ada sekian banyak nabi dan rasul yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala, namun kita tidak mengetahui namanya dan tidak mengetahui kisahnya.
Para rasul yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur`an ada 25 orang. Ada 18 nama dari mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan secara berangkai pada satu tempat, yaitu di surah Al-An’am ayat 83-86. Adapun 7 nama lainnya Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan di tempat terpisah-pisah dalam Al-Qur`an.
Maka wajib beriman kepada mereka semua secara rinci dengan masing-masing namanya, mengimani kenabian dan kerasulan mereka, serta semua berita, kisah, keutamaan, mukjizat dan berbagai peristiwa lainnya sebagaimana diberitakan dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih, tidak menambah dan tidak pula menguranginya. Seperti kisah perjalanan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam, lengkap dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada beliau ‘alaihis salaam untuk membuat perahu. Demikian pula kisah Nabi Musa ‘alaihis salaam, lengkap dengan peristiwa Allah subhanahu wa ta’ala berbicara kepada Musa ‘alaihis salaam, kemenangan Musa ‘alaihis salaam menghadapi para tukang sihir dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, dll. Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala berikan kemampuan kepada Nabi Sulaimain ‘alaihis salaam untuk menundukkan bangsa jin, memahami bahasa hewan dan lain-lain. Demikian pula para nabi dan rasul lainnya, kita mengimaninya sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih.
Maka kita tidak boleh mempercayai cerita-cerita palsu yang dibuat tentang kapal Nabi Nuh ‘alaihis salaam, atau bahwa tongkat Nabi Musa ‘alaihis salaam masih tersimpan di tempat ini dan itu misalnya, barang siapa mendapatkannya maka dia akan menjadi orang sakti. Atau mempercayai kuburan tertentu sebagai kuburan Nabi Hud ‘alaihis salaam, sehingga dia mengagungkan dan mengeramatkannya, dan meyakini bahwa ziarah ke kubur Nabi Hud ‘alaihis salaam sama nilainya atau bahkan melebihi ibadah haji! La haula wa la quwwata illa billah! Maka itu semua sama sekali bukan bagian dari keimanan kepada para Nabi dan Rasul ‘alaihimus salaam.

Beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terbesar dan paling mulia. Demikian pula agama yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agama terbesar dan termulia. Diutusnya beliau merupakan rahmat bagi semesta alam, dan nikmat terbesar bagi kaum mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan beliau dan agama beliau menang di atas semua agama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa Al-Huda dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Al-Fath: 28)
Hakikat beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: membenarkan, menaati, dan mengikuti syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapapun yang mengaku beriman dan mengikuti agama seorang nabi sebelumnya, namun tidak mau beriman dan mengikuti agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia telah kafir.
Demikian pula termasuk iman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meyakini bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus. Maka tidak ada rasul setelahku dan tidak ada pula nabi setelahku.” (HR. at-Tirmidzi no. 2272, Ahmad 3/267)
Maka siapapun yang meyakini bahwa masih ada nabi atau rasul setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia telah kafir, meskipun dia mengimani kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
        Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Tanya-Jawab

Pertanyaan: Ustadz, apa hukum memakai perhiasan bagi laki-laki?
0853345xxxxx
Jawab: Tidak sepantasnya bagi laki-laki memakai perhiasan dan menjadikan dirinya seperti perempuan, karena memakai perhiasan itu adalah kebiasaan perempuan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah (kelahiran anak perempuan), jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan (wanita) sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (Az-Zukhruf: 17-18)
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan bagi laki-laki memakai perhiasan emas, baik berupa kalung, gelang, atau cincin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ وَالذَّهَبَ، وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا
“Sesungguhnya Allah menghalalkan sutra dan emas bagi kaum wanita dari umatku dan mengharamkan bagi kaum laki-laki dari mereka.”  (HR. an-Nasai no. 5265) (Lihat Fatawa nurun ‘alad Darbi Lil’Utsaimin 22/2)

0 komentar:

Posting Komentar